Forum Profesional Film Indonesia

Adil dan Beradab
Sekarang ini Selasa Mar 19, 2024 3:42 pm

Waktu dalam UTC + 7 jam




Postkan topik baru Balas ke topik  [ 1 post ] 
Pengarang Pesan
 Subjek post: UU RI No.33 2009 Tentang Perfilman
PostDipost: Minggu Mei 16, 2010 12:02 pm 
Offline
Site Admin

Bergabung: Sabtu Mar 06, 2010 10:57 pm
Post: 37
Lokasi: INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2009
TENTANG
PERFILMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki
peran strategis dalam peningkatan ketahanan
budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir
batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan
karena itu negara bertanggung jawab memajukan
perfilman;
b. bahwa film sebagai media komunikasi massa
merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa,
pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak
mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta
wahana promosi Indonesia di dunia internasional,
sehingga film dan perfilman Indonesia perlu
dikembangkan dan dilindungi;
c. bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat
penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari
pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi
Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;
d. bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus
sejalan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992
tentang Perfilman tidak sesuai lagi dengan
perkembangan perfilman dan semangat zamannya
sehingga perlu dicabut;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Perfilman;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28, Pasal 28F, Pasal 28J,
Pasal 31 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 32
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Film adalah karya seni budaya yang merupakan
pranata sosial dan media komunikasi massa yang
dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan
atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.
2. Perfilman adalah berbagai hal yang berhubungan
dengan film.
3. Budaya bangsa adalah seluruh sistem nilai,
gagasan, norma, tindakan, dan hasil karya bangsa
Indonesia di seluruh wilayah nusantara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
4. Kegiatan perfilman adalah penyelenggaraan
perfilman yang langsung berhubungan dengan film
dan bersifat nonkomersial.
5. Usaha perfilman adalah penyelenggaraan perfilman
yang langsung berhubungan dengan film dan
bersifat komersial.
6. Masyarakat adalah warga negara Indonesia
nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan
peranan dalam bidang perfilman.
7. Iklan film adalah bentuk publikasi dan promosi
film.
8. Insan perfilman adalah setiap orang yang memiliki
potensi dan kompetensi dalam perfilman dan
berperan dalam pembuatan film.
9. Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan
penentuan kelayakan film dan iklan film untuk
dipertunjukkan kepada khalayak umum.
10. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan Pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
11. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
12. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan
kebudayaan.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Perfilman berasaskan:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. kemanusiaan;
c. bhinneka tunggal ika;
d. keadilan;
e. manfaat;
f. kepastian hukum;
g. kebersamaan;
h. kemitraan; dan
i. kebajikan.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Perfilman bertujuan:
a. terbinanya akhlak mulia;
b. terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa;
c. terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa;
d. meningkatnya harkat dan martabat bangsa;
e. berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa;
f. dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional;
g. meningkatnya kesejahteraan masyarakat; dan
h. berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang
hidup dan berkelanjutan.
Bagian Ketiga
Fungsi
Pasal 4
Perfilman mempunyai fungsi:
a. budaya;
b. pendidikan;
c. hiburan;
d. informasi;
e. pendorong karya kreatif; dan
f. ekonomi.

BAB III
KEGIATAN PERFILMAN DAN USAHA PERFILMAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan
berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan
berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama,
etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Pasal 6
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan
usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan
dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. menonjolkan pornografi;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan
antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau
antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilainilai
agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan
melawan hukum; dan/atau
f. merendahkan harkat dan martabat manusia.
Pasal 7
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan
usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan
usia penonton film yang meliputi film:
a. untuk penonton semua umur;
b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau
lebih; dan
d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih.
Pasal 8
(1) Kegiatan perfilman meliputi:
a. pembuatan film;
b. jasa teknik film;
c. pengedaran film;
d. pertunjukan film;
e. apresiasi film; dan
f. pengarsipan film.
(2) Usaha perfilman meliputi:
a. pembuatan film;
b. jasa teknik film;
c. pengedaran film;
d. pertunjukan film;
e. penjualan film dan/atau penyewaan film;
f. pengarsipan film;
g. ekspor film; dan
h. impor film.
(3) Kegiatan perfilman dan usaha perfilman selain
yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Pasal 9
(1) Pelaku kegiatan perfilman meliputi:
a. pelaku kegiatan pembuatan film;
b. pelaku kegiatan jasa teknik film;
c. pelaku kegiatan pengedaran film;
d. pelaku kegiatan pertunjukan film;
e. pelaku kegiatan apresiasi film; dan
f. pelaku kegiatan pengarsipan film.
(2) Pelaku usaha perfilman meliputi:
a. pelaku usaha pembuatan film;
b. pelaku usaha jasa teknik fllm;
c. pelaku usaha pengedaran film;
d. pelaku usaha pertunjukan film;
e. pelaku usaha penjualan film dan/atau
penyewaan film;
f. pelaku usaha pengarsipan film;
g. pelaku usaha ekspor film; dan
h. pelaku usaha impor film.
Pasal 10
(1) Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha
perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
wajib mengutamakan film Indonesia, kecuali
pelaku usaha impor film.
(2) Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha
perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
wajib mengutamakan penggunaan sumber daya
dalam negeri secara optimal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib
mengutamakan film Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan wajib mengutamakan
penggunaan sumber daya dalam negeri secara
optimal sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pasal 11
(1) Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) dilarang memiliki usaha
perfilman lain yang dapat mengakibatkan
terjadinya integrasi vertikal, baik langsung
maupun tidak langsung.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi pelaku usaha pembuatan film
yang melakukan pengedaran film dan ekspor film
untuk film produksi sendiri.
Pasal 12
Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d dilarang
mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha
pembuatan film atau pengedaran film atau impor film
melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya
selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang
mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat.
Pasal 13
Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf g atau huruf h dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau
membuat ketentuan yang bertujuan untuk
menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi
atau menerima pasokan film yang mengakibatkan
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal 14
(1) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf
f wajib didaftarkan kepada Menteri tanpa dipungut
biaya dan diproses dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja.
(2) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e,
huruf g, dan huruf h wajib memiliki izin usaha,
kecuali usaha penjualan film dan/atau penyewaan
film oleh pelaku usaha perseorangan.
(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan oleh Menteri untuk setiap jenis usaha:
a. usaha pengedaran film;
b. usaha ekspor film; dan/atau
c. usaha impor film.
(4) Izin usaha diberikan oleh bupati atau walikota
untuk setiap jenis usaha:
a. usaha penjualan dan/atau penyewaan film;
dan/atau
b. usaha pertunjukan film.
(5) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b tidak termasuk izin usaha pertunjukan
film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau
jaringan teknologi informatika.
(6) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (4) diterbitkan tanpa dipungut biaya dan
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
kerja.
(7) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
bagi usaha pertunjukan film yang dilakukan
melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi
informatika diberikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(8) Izin usaha tidak dapat diberikan kepada pelaku
usaha perfilman yang dapat mengakibatkan
terjadinya integrasi vertikal baik secara langsung
maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata
cara pendaftaran usaha dan permohonan izin
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan
ayat (8) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 15
Kerja sama antarpelaku usaha perfilman wajib
dilakukan dengan perjanjian tertulis.
Bagian Kedua
Pembuatan Film
Pasal 16
(1) Pembuatan film dapat dilakukan oleh pelaku
kegiatan pembuatan film atau pelaku usaha
pembuatan film.
(2) Pelaku kegiatan pembuatan film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan,
organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha
yang berbadan hukum Indonesia.
Pasal 17
(1) Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan
film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (3) harus didahului dengan menyampaikan
pemberitahuan pembuatan film kepada Menteri
dengan disertai judul film, isi cerita, dan rencana
pembuatan film.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan tanpa dipungut biaya dan
dicatat dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
hari kerja.
(3) Menteri wajib:
a. melindungi pembuatan film yang telah dicatat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) agar
tidak ada kesamaan judul dan isi cerita.
b. mengumumkan secara berkala kepada publik
data judul-judul film yang tercatat.
(4) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan
pembuatan film yang dicatat paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film.
(5) Dalam hal rencana pembuatan film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4),
pemberitahuannya dinyatakan batal.
Pasal 18
(1) Pembuatan film dapat dilakukan dengan teknologi
analog, digital, atau teknologi tertentu dan
direkam pada:
a. pita seluloid;
b. pita video;
c. cakram optik; atau
d. bahan lainnya.
(2) Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuat melalui proses kimia, elektronik, atau
proses lainnya.
Pasal 19
(1) Pembuatan film dapat dilakukan dalam bentuk
film cerita atau film noncerita.
(2) Bentuk film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak termasuk berita dan materi siaran langsung
yang disiarkan oleh lembaga penyiaran televisi.
Pasal 20
(1) Pembuatan film wajib mengutamakan insan
perfilman Indonesia secara optimal.
(2) Insan perfilman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. penulis skenario film;
b. sutradara film;
c. artis film;
d. juru kamera film;
e. penata cahaya film;
f. penata suara film;
g. penyunting suara film;
h. penata laku film;
i. penata musik film;
j. penata artistik film;
k. penyunting gambar film;
l. produser film; dan
m. perancang animasi.
(3) Insan perfilman selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
(4) Insan perfilman sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) mendapat:
a. perlindungan hukum;
b. perlindungan asuransi pada usaha perfilman
yang berisiko;
c. jaminan keselamatan dan kesehatan kerja;
dan
d. jaminan sosial.
(5) Perlindungan hukum untuk insan perfilman
anak-anak di bawah umur harus memenuhi hakhak
anak dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (5) dibuat dalam perjanjian
tertulis yang mencakup hak dan kewajiban para
pihak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
(1) Dalam pembuatan film dapat dilakukan
pembuatan iklan film.
(2) Iklan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib sesuai dengan isi film.
Pasal 22
(1) Pembuatan film oleh pihak asing yang
menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan
dengan izin Menteri.
(2) Pembuatan film yang menggunakan insan
perfilman asing dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan.
(3) Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan tanpa dipungut biaya dan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
Bagian Ketiga
Jasa Teknik Film
Pasal 23
(1) Jasa teknik film meliputi:
a. studio pengambilan gambar film;
b. sarana pengambilan gambar film;
c. laboratorium pengolahan film;
d. sarana penyuntingan film;
e. sarana pengisian suara film;
f. sarana pemberian teks film; dan
g. sarana pencetakan dan/atau penggandaan
film.
(2) Jasa teknik film selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 24
(1) Jasa teknik film dapat dilakukan oleh pelaku
kegiatan jasa teknik film atau pelaku usaha jasa
teknik film.
(2) Pelaku kegiatan jasa teknik film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan,
organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.
(3) Pelaku usaha jasa teknik film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha
yang berbadan hukum Indonesia.
Bagian Keempat
Pengedaran Film
Pasal 25
(1) Pengedaran film dilakukan oleh pelaku kegiatan
pengedaran film atau pelaku usaha pengedaran
film.
(2) Pelaku kegiatan pengedaran film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan,
organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.
(3) Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha
berbadan hukum Indonesia.
Pasal 26
(1) Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana
dimaksud pada Pasal 25 ayat (3) wajib
memberikan hak dan perlakuan yang adil
terhadap pelaku usaha pertunjukan film untuk
memperoleh film.
(2) Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku
usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi hak dan perlakuan untuk
mendapatkan kopi-jadi film berdasarkan kriteria
urutan prioritas secara jelas yang diberlakukan
sama oleh pelaku usaha pengedaran film
terhadap pelaku usaha pertunjukan film.
Pasal 27
(1) Pelaku usaha pertunjukan film wajib memberikan
hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku
usaha pengedaran film untuk mempertunjukkan
film.
(2) Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku
usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi hak dan perlakuan untuk
mendapatkan kesempatan jam pertunjukan
berdasarkan kriteria urutan prioritas secara jelas
yang diberlakukan sama oleh pelaku usaha
pertunjukan film terhadap pelaku usaha
pengedaran film.
Pasal 28
(1) Menteri menetapkan tata edar film untuk
menjamin perlakuan yang adil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27.
(2) Tata edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. ketentuan tentang pokok-pokok hak dan
kewajiban para pihak yang harus diatur di
dalam perjanjian kerjasama antara para
pihak;
b. pengawasan ketaatan atas perjanjian kerja
sama; dan
c. sanksi atas pelanggaran kerjasama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata edar film
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pertunjukan Film
Pasal 29
(1) Pertunjukan film dapat dilakukan oleh pelaku
kegiatan pertunjukan film atau pelaku usaha
pertunjukan film.
(2) Pelaku kegiatan pertunjukan film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan,
organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha
yang berbadan hukum Indonesia.
Pasal 30
(1) Pertunjukan film dapat dilakukan melalui:
a. layar lebar;
b. penyiaran televisi; dan
c. jaringan teknologi informatika.
(2) Pertunjukan film melalui layar lebar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
pertunjukan film:
a. di bioskop;
b. di gedung pertunjukan nonbioskop; dan
c. di lapangan terbuka.
(3) Pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan dengan sistem proyeksi
atau nonproyeksi terhadap semua hasil
pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18.
(4) Pertunjukan film selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 31
(1) Pertunjukan film untuk golongan penonton usia
21 (dua puluh satu) tahun atau lebih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d
yang melalui penyiaran televisi hanya dapat
dilakukan dari pukul 23.00 sampai pukul 03.00
waktu setempat.
(2) Pertunjukan film untuk golongan penonton usia
21 (dua puluh satu) tahun atau lebih kepada
khalayak umum dilarang dilakukan di lapangan
terbuka atau di gedung pertunjukan nonbioskop
kecuali kegiatan apresiasi film atau pertunjukan
film untuk tujuan pendidikan dan/atau penelitian.
Pasal 32
Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) wajib
mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya
60% (enam puluh persen) dari seluruh jam
pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam)
bulan berturut-turut.
Pasal 33
(1) Pelaku usaha pertunjukan film yang melakukan
pertunjukan film di bioskop sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a wajib
memberitahukan kepada Menteri secara berkala
jumlah penonton setiap judul film yang
dipertunjukkan.
(2) Menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat
secara berkala jumlah penonton setiap judul film
yang dipertunjukkan di bioskop.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pertunjukan film
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32, dan Pasal 33 diatur dalam Peraturan
Menteri.
Bagian Keenam
Penjualan Film dan Penyewaan Film
Pasal 35
(1) Penjualan film dan/atau penyewaan film dapat
dilakukan oleh pelaku usaha penjualan film
dan/atau pelaku usaha penyewaan film
berbentuk badan usaha Indonesia atau
perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Penjualan film dan/atau penyewaan film
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Ketujuh
Apresiasi Film
Pasal 36
(1) Apresiasi film dilakukan oleh pelaku kegiatan
apresiasi film.
(2) Pelaku kegiatan apresiasi film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan,
organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 37
(1) Apresiasi film sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 meliputi:
a. festival film;
b. seminar, diskusi, dan lokakarya; dan
c. kritik dan resensi film.
(2) Apresiasi film sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib mendapat dukungan Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah.
Bagian Kedelapan
Pengarsipan Film
Pasal 38
(1) Pengarsipan film dapat dilakukan oleh pelaku
kegiatan pengarsipan film atau pelaku usaha
pengarsipan film.
(2) Pelaku kegiatan pengarsipan film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan,
organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.
(3) Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
membentuk pusat pengarsipan film Indonesia.
(4) Pelaku usaha pengarsipan film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha
Indonesia atau perseorangan warga negara
Indonesia.
(5) Pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib mendapat dukungan Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengarsipan film
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 39
(1) Pelaku usaha pembuatan film menyerahkan salah
satu kopi-jadi film dari setiap film yang
dimilikinya kepada pusat pengarsipan film
Indonesia untuk disimpan sebagai arsip paling
lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
terakhir film dipertunjukkan.
(2) Pelaku kegiatan pembuatan film secara sukarela
menyerahkan salah satu kopi-jadi film dari setiap
film yang dimilikinya kepada pusat pengarsipan
film Indonesia untuk disimpan sebagai arsip.
(3) Pusat pengarsipan film Indonesia harus aktif
melakukan perolehan kopi-jadi film dokumenter
yang memiliki nilai sejarah dan budaya bangsa.
(4) Penyimpanan arsip film sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Kesembilan
Ekspor Film dan Impor Film
Pasal 40
(1) Ekspor film dilakukan oleh pelaku usaha ekspor
film.
(2) Impor film dilakukan oleh pelaku usaha impor
film.
(3) Pelaku usaha ekspor film dan pelaku usaha
impor film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) masing-masing merupakan badan
usaha berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 41
(1) Pemerintah wajib mencegah masuknya film
impor yang bertentangan dengan nilai-nilai
agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya
bangsa.
(2) Pemerintah wajib membatasi film impor dengan
menjaga proporsi antara film impor dan film
Indonesia guna mencegah dominasi budaya
asing.
Pasal 42
(1) Impor film dapat dilakukan oleh perwakilan
diplomatik atau badan internasional yang diakui
Pemerintah untuk kepentingannya sendiri.
(2) Film yang diimpor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dipertunjukkan kepada
khalayak umum dengan pemberitahuan kepada
Menteri.
Pasal 43
Pelaku usaha perfilman dilarang melakukan sulih
suara film impor ke dalam bahasa Indonesia, kecuali
film impor untuk kepentingan pendidikan dan/atau
penelitian.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai ekspor film dan
impor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,
Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 diatur dalam
Peraturan Menteri.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 45
Masyarakat berhak:
a. memperoleh pelayanan dalam kegiatan perfilman
dan usaha perfilman;
b. memilih dan menikmati film yang bermutu;
c. menjadi pelaku kegiatan perfilman dan pelaku
usaha perfilman;
d. memperoleh kemudahan sarana dan prasarana
pertunjukan film; dan
e. mengembangkan perfilman.
Pasal 46
Masyarakat berkewajiban:
a. membantu terciptanya suasana aman, damai,
tertib, bersih, dan berperilaku santun dalam
pembuatan film dan pertunjukan film;
b. membantu terpeliharanya sarana dan prasarana
perfilman; dan
c. mematuhi ketentuan tentang penggolongan usia
penonton film.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Insan Perfilman
Pasal 47
Setiap insan perfilman berhak:
a. berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam bidang
perfilman;
b. mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan
kerja;
c. mendapatkan jaminan sosial;
d. mendapatkan perlindungan hukum;
e. menjadi mitra kerja yang sejajar dengan pelaku
usaha perfilman;
f. membentuk organisasi profesi yang memiliki kode
etik;
g. mendapatkan asuransi dalam kegiatan perfilman
yang berisiko;
h. menerima pendapatan yang sesuai dengan standar
kompetensi; dan
i. mendapatkan honorarium dan/atau royalti sesuai
dengan perjanjian.
Pasal 48
Setiap insan perfilman berkewajiban:
a. memenuhi standar kompetensi dalam bidang
perfilman;
b. melaksanakan pekerjaan secara profesional;
c. melaksanakan perjanjian kerja yang dibuat secara
tertulis; dan
d. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral,
kesusilaan, dan budaya bangsa.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Pelaku Kegiatan Perfilman dan Pelaku Usaha Perfilman
Pasal 49
Setiap pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha
perfilman berhak:
a. berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam bidang
perfilman;
b. mendapatkan kesempatan yang sama untuk
menumbuhkan dan mengembangkan kegiatan
perfilman dan usaha perfilman;
c. mendapatkan perlindungan hukum;
d. membentuk organisasi dan/atau asosiasi kegiatan
atau usaha yang memiliki kode etik; dan
e. mendapatkan dukungan dan fasilitas dari
Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 50
(1) Setiap pelaku kegiatan perfilman berkewajiban:
a. memiliki kompetensi kegiatan dalam bidang
perfilman; dan
b. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika,
moral, kesusilaan, dan budaya bangsa dalam
kegiatan perfilman.
(2) Setiap pelaku usaha perfilman berkewajiban:
a. memiliki kompetensi dan sertifikat usaha
dalam bidang perfilman;
b. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika,
moral, kesusilaan, dan budaya bangsa
dalam usaha perfilman; dan
c. membuat dan memenuhi perjanjian kerja
dengan mitra kerja yang dibuat secara
tertulis.

BAB V
KEWAJIBAN, TUGAS, DAN WEWENANG
PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 51
Pemerintah berkewajiban:
a. memfasilitasi pengembangan dan kemajuan
perfilman;
b. memfasilitasi pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi perfilman;
c. memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film
dan pengarsipan film; dan
d. memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan
ketersediaan film Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32.
Pasal 52
Pemerintah bertugas menyusun, menetapkan, dan
mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan
rencana induk perfilman nasional dengan
memperhatikan masukan dari badan perfilman
Indonesia.
Pasal 53
Pemerintah berwenang memberikan keringanan pajak
dan bea masuk tertentu untuk perfilman.
Pasal 54
Pemerintah daerah berkewajiban:
a. memfasilitasi pengembangan dan kemajuan
perfilman;
b. memberikan bantuan pembiayaan apresiasi dan
pengarsipan film;
c. memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan
ketersediaan film Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32; dan
d. memfasilitasi pembuatan film dokumenter
tentang warisan budaya bangsa di daerahnya.
Pasal 55
(1) Pemerintah daerah mempunyai tugas:
a. melaksanakan kebijakan dan rencana induk
perfilman nasional;
b. menetapkan serta melaksanakan kebijakan
dan rencana perfilman daerah; dan
c. menyediakan sarana dan prasarana untuk
pengembangan dan kemajuan perfilman.
(2) Dalam menetapkan kebijakan dan rencana
perfilman daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, pemerintah daerah mengacu
pada kebijakan dan rencana induk perfilman
nasional.
Pasal 56
Pemerintah daerah berwenang untuk memberikan
keringanan pajak daerah dan retribusi daerah
tertentu untuk perfilman.

BAB VI
SENSOR FILM
Pasal 57
(1) Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan
dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh
surat tanda lulus sensor.
(2) Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan setelah dilakukan
penyensoran yang meliputi:
a. penelitian dan penilaian tema, gambar,
adegan, suara, dan teks terjemahan suatu
film yang akan diedarkan dan/atau
dipertunjukkan kepada khalayak umum;
b. penentuan kelayakan film dan iklan film
untuk diedarkan dan/atau dipertunjukkan
kepada khalayak umum; dan
c. penentuan penggolongan usia penonton film.
(3) Penyensoran sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan prinsip memberikan
perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh
negatif film dan iklan film.
Pasal 58
(1) Untuk melakukan penyensoran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3)
dibentuk lembaga sensor film yang bersifat tetap
dan independen.
(2) Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berkedudukan di ibukota negara
Republik Indonesia.
(3) Lembaga sensor film bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri.
(4) Lembaga sensor film dapat membentuk
perwakilan di ibukota provinsi.
Pasal 59
Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (1) diterbitkan oleh lembaga
sensor film.
Pasal 60
(1) Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 ayat (1) melaksanakan
penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria
sensor film yang mengacu kepada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan
Pasal 7.
(2) Lembaga sensor film melaksanakan penyensoran
berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film
yang disensor.
(3) Lembaga sensor film mengembalikan film yang
mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan
teks terjemahan yang tidak sesuai dengan
pedoman dan kriteria sensor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik film yang
disensor untuk diperbaiki.
(4) Lembaga sensor film mengembalikan iklan film
yang tidak sesuai dengan isi film sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2)
kepada pemilik iklan film untuk diperbaiki.
(5) Lembaga sensor film dapat mengusulkan sanksi
administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku
kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman
yang melalaikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 61
(1) Lembaga sensor film memasyarakatkan
penggolongan usia penonton film dan kriteria
sensor film.
(2) Lembaga sensor film membantu masyarakat agar
dapat memilih dan menikmati pertunjukan film
yang bermutu serta memahami pengaruh film
dan iklan film.
(3) Lembaga sensor film mensosialisasikan secara
intensif pedoman dan kriteria sensor kepada
pemilik film agar dapat menghasilkan film yang
bermutu.
Pasal 62
Lembaga sensor film dibantu oleh:
a. sekretariat; dan
b. tenaga sensor yang memiliki kompetensi di bidang
penyensoran.
Pasal 63
(1) Menteri mengajukan kepada Presiden calon
anggota lembaga sensor film yang telah lulus
melalui seleksi.
(2) Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh panitia seleksi yang dibentuk dan
ditetapkan oleh Menteri.
(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berasal dari pemangku kepentingan
perfilman.
(4) Panitia seleksi dalam memilih calon anggota
lembaga sensor film bekerja secara jujur,
terbuka, dan objektif.
(5) Calon anggota sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) harus memenuhi syarat-syarat:
a. warga negara Republik Indonesia berusia
paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan
paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. memahami asas, tujuan, dan fungsi
perfilman;
d. memiliki kecakapan dan wawasan dalam
ruang lingkup tugas penyensoran; dan
e. dapat melaksanakan tugasnya secara penuh
waktu.
Pasal 64
(1) Anggota lembaga sensor film berjumlah 17 (tujuh
belas) orang terdiri atas 12 (dua belas) orang
unsur masyarakat dan 5 (lima) orang unsur
Pemerintah.
(2) Anggota lembaga sensor film memegang jabatan
selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3) Anggota lembaga sensor film diangkat oleh
Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(4) Pengangkatan dan pemberhentian anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan keputusan Presiden.
Pasal 65
(1) Lembaga sensor film dibiayai dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan dapat
didukung oleh anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
(2) Lembaga sensor film dapat menerima dana dari
tarif yang dikenakan terhadap film yang disensor.
(3) Pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib diaudit oleh akuntan publik dan
diumumkan kepada masyarakat.
(4) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan,
kedudukan, keanggotaan, pedoman dan kriteria, serta
tenaga sensor dan sekretariat lembaga sensor film
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61,
Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 67
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan perfilman.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
a. apresiasi dan promosi film;
b. penyelenggaraan pendidikan dan/atau
pelatihan perfilman;
c. pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi perfilman;
d. pengarsipan film;
e. kine klub;
f. museum perfilman;
g. memberikan penghargaan;
h. penelitian dan pengembangan;
i. memberikan masukan perfilman; dan/atau
j. mempromosikan Indonesia sebagai lokasi
pembuatan film luar negeri.
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan secara
perseorangan atau kelompok.
Pasal 68
(1) Untuk meningkatkan peran serta masyarakat
dalam perfilman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67 ayat (2) huruf a, huruf g, huruf h, huruf
i, dan huruf j dibentuk badan perfilman
Indonesia.
(2) Pembentukan badan perfilman Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh masyarakat dan dapat difasilitasi oleh
Pemerintah.
(3) Badan perfilman Indonesia merupakan lembaga
swasta dan bersifat mandiri.
(4) Badan perfilman Indonesia berkedudukan di ibu
kota negara Republik Indonesia.
(5) Badan perfilman Indonesia dikukuhkan oleh
Presiden.
Pasal 69
Badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 bertugas untuk:
a. menyelenggarakan festival film di dalam negeri;
b. mengikuti festival film di luar negeri;
c. menyelenggarakan pekan film di luar negeri;
d. mempromosikan Indonesia sebagai lokasi
pembuatan film asing;
e. memberikan masukan untuk kemajuan perfilman;
f. melakukan penelitian dan pengembangan
perfilman;
g. memberikan penghargaan; dan
h. memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu
yang bermutu tinggi.
Pasal 70
(1) Sumber pembiayaan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 berasal dari:
a. pemangku kepentingan; dan
b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Bantuan dana yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non-
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
non-anggaran pendapatan dan belanja daerah
wajib diaudit oleh akuntan publik dan
diumumkan kepada masyarakat.

BAB VIII
PENGHARGAAN
Pasal 71
(1) Setiap film yang meraih prestasi tingkat nasional
dan/atau tingkat internasional, wajib diberi
penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 72
(1) Insan perfilman, pelaku kegiatan perfilman, dan
pelaku usaha perfilman yang berprestasi
dan/atau berjasa dalam memajukan perfilman
diberi penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
(3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk tanda
kehormatan, pemberian beasiswa, asuransi,
pekerjaan, atau bentuk penghargaan lain yang
bermanfaat bagi penerima penghargaan.
(4) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

BAB IX
PENDIDIKAN, KOMPETENSI, DAN SERTIFIKASI
Pasal 73
Pemerintah dan pemerintah daerah
menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi
pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan
kompetensi insan perfilman.
Pasal 74
(1) Insan perfilman harus memenuhi standar
kompetensi.
(2) Standar kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi
kompetensi.
(3) Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh organisasi
profesi, lembaga sertifikasi profesi, dan/atau
perguruan tinggi.
(4) Sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

BAB X
PENDANAAN
Pasal 75
Pendanaan perfilman menjadi tanggung jawab
bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah,
pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman,
dan masyarakat.
Pasal 76
Pengelolaan dana perfilman dilakukan berdasarkan
prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik.
Pasal 77
Sumber pendanaan untuk perfilman dapat diperoleh
dari:
a. pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara serta pemerintah daerah melalui
anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. masyarakat melalui berbagai kegiatan;
c. kerja sama yang saling menguntungkan;
d. bantuan luar negeri yang tidak mengikat;
dan/atau
e. sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 78
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),
Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 31, Pasal 33
ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43, dan Pasal 57
ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Pasal 79
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 78 dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara; dan/atau
d. pembubaran atau pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif dan besaran
denda administratif diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 80
Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan,
menjual, menyewakan, atau mempertunjukkan
kepada khalayak umum, film tanpa lulus sensor
padahal diketahui atau patut diduga isinya
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 81
(1) Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya
dari satu pelaku usaha pembuatan film atau
pengedaran film atau impor film tertentu
melebihi 50% (lima puluh persen) jam
pertunjukannya yang mengakibatkan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan atau denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha perfilman atau membuat
ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi
pelaku usaha perfilman lain memberi atau
menerima pasokan film yang mengakibatkan
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Penanganan perkara terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 82
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81
dilakukan oleh atau atas nama korporasi,
ancaman pidana denda ditambah
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidananya.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81
dilakukan oleh atau atas nama korporasi,
pidana dijatuhkan kepada:
a. korporasi; dan/atau
b. pengurus korporasi.
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), korporasi dapat dikenai pidana
tambahan berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh
dari tindak pidana; dan/atau
b. pencabutan izin usaha.
Pasal 83
Tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana
korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh:
a. pengurus yang memiliki kedudukan berwenang
mengambil keputusan atas nama korporasi;
b. orang yang mewakili korporasi untuk
melakukan perbuatan hukum; dan/atau
c. orang yang memiliki kewenangan untuk
mengendalikan korporasi tersebut.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 84
Pada saat Undang-Undang ini berlaku anggota
lembaga sensor film yang telah ada berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang
Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3473) tetap menjalankan
tugas dan fungsinya sampai ditetapkan anggota
lembaga sensor film sesuai dengan Undang-Undang
ini.
Pasal 85
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. Pelaku usaha pertunjukan film wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
b. Pelaku usaha pembuatan film wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
c. Insan perfilman harus memenuhi standar
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 ayat (1) paling lama 5 (lima) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 86
Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 ayat (1) harus sudah terbentuk paling lama
1 (satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 87
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3473) dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan
peraturan yang baru berdasarkan Undang-
Undang ini.
b. badan yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3473) dan peraturan
pelaksanaannya tetap menjalankan tugas dan
fungsinya sampai dibentuk atau diubahnya
badan tersebut oleh Pemerintah.
Pasal 88
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus
ditetapkan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 89
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang
Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3473) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 90
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 141
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan




PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2009
TENTANG
PERFILMAN
I. UMUM
Salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998, ialah
diadakannya reformasi dalam bidang politik dan kebudayaan, antara
lain dalam bidang perfilman. Sejalan dengan bergesernya posisi film dari
rumpun politik ke rumpun kebudayaan serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, lahirlah gagasan tentang perlunya
paradigma baru.
Film sebagai karya seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah
sinematografi merupakan fenomena kebudayaan. Hal itu bermakna
bahwa film merupakan hasil proses kreatif warga negara yang dilakukan
dengan memadukan keindahan, kecanggihan teknologi, serta sistem
nilai, gagasan, norma, dan tindakan manusia dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian film tidak bebas nilai
karena memiliki seuntai gagasan vital dan pesan yang dikembangkan
sebagai karya kolektif dari banyak orang yang terorganisasi. Itulah
sebabnya, film merupakan pranata sosial (social institution) yang
memiliki kepribadian, visi dan misi yang akan menentukan mutu dan
kelayakannya. Hal itu sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan dedikasi
orang-orang yang bekerja secara kolektif, kemajuan teknologi, dan
sumber daya lainnya.
Film . . .
- 2 -
Film sebagai karya seni budaya yang dapat dipertunjukkan dengan
atau tanpa suara juga bermakna bahwa film merupakan media
komunikasi massa yang membawa pesan yang berisi gagasan vital
kepada publik (khalayak) dengan daya pengaruh yang besar. Itulah
sebabnya film mempunyai fungsi pendidikan, hiburan, informasi, dan
pendorong karya kreatif. Film juga dapat berfungsi ekonomi yang
mampu memajukan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan
prinsip persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian film menyentuh
berbagai segi kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Berbagai hal yang berhubungan dengan film dinamakan perfilman
yang mencakup kegiatan yang bersifat nonkomersial dan usaha yang
bersifat komersial. Yang bersifat nonkomersial dilaksanakan oleh pelaku
kegiatan dan yang bersifat komersial dilakukan oleh pelaku usaha.
Semua itu melibatkan insan perfilman, Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat yang memiliki fungsi dan peranan masing-masing yang
diatur dalam peraturan perundangan-undangan.
Film dibuat di dalam negeri dan dapat diimpor dari luar negeri
dengan segala pengaruhnya. Film yang dibuat di dalam negeri dan film
impor dari luar negeri yang beredar dan dipertunjukkan di Indonesia
ditujukan untuk terbinanya akhlak mulia, terwujudnya kecerdasan
kehidupan bangsa, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa,
meningkatnya harkat dan martabat bangsa, berkembangnya dan
lestarinya nilai budaya bangsa, meningkatnya kesejahteraan
masyarakat, dan berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang
hidup dan berkelanjutan. Film Indonesia yang diekspor terutama
dimaksudkan agar budaya bangsa Indonesia dikenal oleh dunia
internasional. Itulah sebabnya film sebelum beredar dan dipertunjukkan
di Indonesia wajib disensor dan memperoleh surat tanda lulus sensor
yang dikeluarkan oleh lembaga sensor film. Sensor pada dasarnya
diperlukan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dari
adanya dorongan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya, serta penonjolan pornografi,
penistaan, pelecehan dan/atau penodaan nilai-nilai agama atau karena
pengaruh negatif budaya asing.
Penyensoran . . .
- 3 -
Penyensoran dilaksanakan dengan prinsip dialog dengan pemilik
film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha
perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui
Pemerintah. Film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan
teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor
dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan
pedoman dan kriteria sensor.
Selain masyarakat wajib dilindungi dari pengaruh negatif film,
masyarakat juga diberi kesempatan untuk berperan serta dalam
perfilman, baik secara perseorangan maupun secara kelompok. Peran
serta masyarakat dilembagakan dalam badan perfilman Indonesia yang
dibentuk oleh masyarakat dan dapat difasilitasi oleh Pemerintah. Badan
tersebut mempunyai tugas terutama meningkatkan apresiasi dan
promosi perfilman.
Mengingat peran strategis perfilman, pembiayaan pengembangan
perfilman, lembaga sensor film, dan badan perfilman Indonesia
dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pemerintah dan pemerintah
daerah memiliki tugas dan wewenang dalam memajukan dan
melindungi perfilman Indonesia. Presiden dapat melimpahkan tugas dan
wewenangnya kepada Menteri yang membidangi urusan kebudayaan.
Dengan latar belakang pemikiran tersebut, Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3473) sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman
dan semangat zamannya sehingga perlu dicabut dan diganti.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 . . .
- 4 -
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas Ketuhanan Yang Maha Esa”
adalah bahwa perfilman harus menempatkan Tuhan sebagai
yang maha suci, maha agung, dan maha pencipta.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa
perfilman harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah
bahwa perfilman diselenggarakan dengan memperhatikan
dan menghormati keanekaragaman sosial budaya yang
hidup di seluruh wilayah negara Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah adanya
kesamaan kesempatan dan perlakuan dalam
penyelenggaraan perfilman bagi setiap warga negara
Indonesia.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa
perfilman membawa maslahat bagi masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah
bahwa perfilman harus diselenggarakan sesuai dengan
hukum dan peraturan perundangan-undangan.
Huruf g . . .
- 5 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah bahwa
perfilman diselenggarakan dengan semangat maju bersama.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas kemitraan" adalah bahwa
perfilman diselenggarakan berdasarkan kerja sama yang
saling menguntungkan, menguatkan, dan mendukung.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "asas kebajikan" adalah bahwa
perfilman harus mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan
keberuntungan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “menjunjung tinggi nilai-nilai agama,
etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa” adalah bahwa
kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam kegiatan
perfilman harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dilarang mengandung isi yang
mendorong khalayak melakukan kekerasan dan perjudian
serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya” adalah bahwa isi film dilarang
mempertontonkan perilaku yang dapat menyebabkan
khalayak umum tergerak untuk meniru tindakan kekerasan
dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Huruf b . . .
- 6 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menonjolkan pornografi” adalah
bahwa isi film mempertontonkan kecabulan, atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “memprovokasi" adalah bahwa film
berisi hasutan yang menyebabkan terjadinya konflik
horizontal dan pertentangan antarkelompok, antarsuku,
antar-ras, dan/atau antargolongan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “menistakan, melecehkan, dan/atau
menodai nilai-nilai agama” adalah bahwa isi film berisi
penistaan, pelecehan, penghinaan, dan penodaan ajaran
agama.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10 . . .
- 7 -
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sumber daya dalam negeri”
meliputi insan perfilman, alam, bahan dan/atau produk,
jasa, peralatan, fasilitas, dan kekayaan budaya bangsa yang
tersedia di Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "integrasi vertikal" adalah
penguasaan sumber penerimaan pasokan film dan/atau
pemberian pasokan film kepada pihak lain dari hulu sampai
hilir yang terdiri atas dua jenis usaha atau lebih.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16 . . .
- 8 -
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “film cerita” adalah semua film yang
mengandung cerita, termasuk film eksperimental dan film
animasi.
Yang dimaksud dengan “film noncerita” adalah semua film
yang berisi penyampaian informasi, termasuk film animasi,
film iklan (film yang memuat materi iklan), film
ekperimental, film seni, film pendidikan, dan film
dokumenter.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
- 9 -
Ayat (5)
Yang dimaksud “perlindungan hukum untuk insan
perfilman anak-anak di bawah umur” adalah terutama
perlindungan mengenai pemenuhan hak belajar dan hak
bermain.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “iklan film” termasuk di dalamnya
poster, stillphoto, slide, klise, thriller, banner, pamflet, brosur,
baliho, spanduk, folder, plakat, dan sarana publikasi dan
promosi lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27 . . .
- 10 -
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Yang dimaksud dengan “wajib mempertunjukkan film Indonesia
sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam
pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan
berturut-turut” tidak berarti memperbolehkan pertunjukan film
yang tidak bermutu.
Yang dimaksud dengan “wajib mempertunjukkan film Indonesia
sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam
pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan
berturut-turut” perhitungannya adalah sebagai berikut:
a. untuk pelaku usaha pertunjukan film yang memiliki 1 (satu)
bioskop dengan 1 (satu) layar, persentase dihitung terhadap
penggunaan layar tersebut;
b. untuk pelaku usaha pertunjukan film yang memiliki 1 (satu)
bioskop dengan layar lebih dari 1 (satu), persentase dihitung
terhadap penjumlahan jam pertunjukan pada seluruh layar;
dan
c. untuk . . .
- 11 -
c. untuk pelaku usaha pertunjukan film yang memiliki lebih dari
1 (satu) bioskop, persentase dihitung terhadap penjumlahan
seluruh bioskop dan seluruh layar.
Yang dimaksud dengan “wajib mempertunjukkan film Indonesia
sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam
pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan
berturut-turut” melalui penyiaran televisi ialah persentase
dihitung terhadap penggunaan jam pertunjukan untuk film pada
1 (satu) lembaga penyiaran televisi.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Penjualan film dan/atau penyewaan
film” yaitu penyedian film untuk dibeli dan/atau disewa oleh
masyarakat di toko, kios, atau tempat penjualan dan/atau
penyewaan lainnya serta bukan penyediaan film kepada
pelaku kegiatan pertunjukan film dan/atau pelaku usaha
pertunjukan film.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38 . . .
- 12 -
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49 . . .
- 13 -
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Yang dimaksud dengan “memfasilitasi” adalah bahwa pemerintah
memberikan dukungan dan kemudahan dalam pembuatan film,
antara lain melalui ketersediaan sarana dan prasarana, termasuk
sentra film.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Yang dimaksud dengan "pajak daerah dan retribusi tertentu"
adalah keringanan pajak dan bea masuk untuk ekspor film, impor
bahan baku dan peralatan film, serta pajak dan retribusi daerah
atas pertunjukan film.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58 . . .
- 14 -
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip dialog” adalah mengundang
pemilik film untuk memberi dan menerima penjelasan terkait
dengan isi film yang sedang disensor.
Yang dimaksud dengan “pemilik film yang disensor” adalah
pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman,
perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui
Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 15 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “membantu masyarakat” meliputi:
a. membantu pemilik film dalam memberi informasi yang
benar dan lengkap kepada masyarakat agar dapat
memilih dan menikmati film yang bermutu; dan
b. menerbitkan materi pendidikan untuk media dalam
upaya membantu masyarakat mencerna pengaruh
pertunjukan film dan iklan film.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pemangku kepentingan perfilman"
adalah Pemerintah dan pemerintah daerah, pelaku kegiatan
perfilman dan pelaku usaha perfilman, serta masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 64 . . .
- 16 -
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
“Berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat” dalam
ketentuan ini bukan merupakan uji kepatutan dan kelayakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan anggaran pendapatan dan belanja
daerah hanya digunakan untuk biaya operasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68 . . .
- 17 -
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Huruf a
Badan perfilman Indonesia tidak dimaksudkan sebagai
satu-satunya lembaga penyelenggara festival film di dalam
negeri.
Huruf b
Badan perfilman Indonesia tidak dimaksudkan sebagai
satu-satunya lembaga yang mengikuti festival film di luar
negeri.
Huruf c
Badan perfilman Indonesia tidak dimaksudkan satu-satunya
lembaga penyelenggara pekan film.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
“Fasilitas pendanaan pembuatan film tertentu" dalam
ketentuan ini hanya diberikan terhadap film yang bermuatan
pendidikan, budaya, patriotisme, dan sejarah perjuangan
bangsa serta yang berpotensi meraih prestasi internasional.
Pasal 70 . . .
- 18 -
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82 . . .
- 19 -
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5060

_________________
Forum Profesional Film Indonesia
http://www.FPFI.org
admin@fpfi.org


Atas
 Profil  
 
Tampilkan post-post sebelumnya:  Urutkan sesuai  
Postkan topik baru Balas ke topik  [ 1 post ] 

Waktu dalam UTC + 7 jam


Siapa yang online

Pengguna yang berada di forum ini: Tidak ada pengguna yang terdaftar dan 1 tamu


Anda tidak dapat membuat topik baru di forum ini
Anda tidak dapat membalas topik di forum ini
Anda tidak dapat mengubah post anda di forum ini
Anda tidak dapat menghapus post anda di forum ini
Anda tidak dapat mempost lampiran di forum ini

Cari:
Lompat ke:  
cron
Powered by phpBB © 2000, 2002, 2005, 2007 phpBB Group